Makanan Nasional Jepang mie Ramen Merupakan Lambang Penjajahan Jepang Atas China

Makanan Nasional Jepang mie  Ramen Merupakan Lambang Penjajahan Jepang Atas China


AGEN DOMINO : Bangsa Jepang mengenal tiga jenis mi dalam tradisi kulinerý. Ada udon, soba, & ramen. Akan tetapi, jenis yg terakhir tidak dilahirkan oleh bangsa Jepang sendiri. Ramen merupakan jenis mie yg diadaptasi dari salah satu ragam mie China, yakni lamian (baca: lamyen). Dalam dialek Hokkian, lamian merupakan mie yg diregangkan, merujuk pada proses pembuataný. Dikutip dari buku The Untold History of Ramene karangan George Solt, kemungkinan besar ramen dikenalkan oleh seorang chef china di salah satu restoran Tokyo pada tahun 1910.

Perbedaaný yg mencolok dngn udon & soba mencakup teksturý yg lebih tebal & keýl, warnaý yg kekuningan, serta bumbu yg lebih pekat & berkaldu.Sebelum disebut ramen”, ramen lebih dulu dijuluki “shina soba” (mi china). Julukan ini, kendati terkesan biasa saja, rupaý puý muatan politis seiring konteks penyebutaný di masa itu.Pada tahun 1930-an, Jepang mulai menginvasi bangsa-bangsa Asia, termasuk China, & menjajahý untuk sekian tahun. Invasi ini kemudian meletakkan Jepang sebagai bangsa yg lebih superior.

Penyebutan “China” dalam shina soba” terselip cercaan implisit pada etnis china yg saat itu kedudukaný inferior.Fenomena ketika penyebutan “China” mengandung olok-olok tersebut mungkin serupa dngn diskriminasi rasial terhadap etnis china di Indonesia pada era Orde Baru.Pendudukan Jepang atas China kemudian melahirkan pula fenomena “ledakan China”. Segala produk budaya china mulai dari dekorasi, pakaian, hingga makanan dikonsumsi besar-besaran oleh warga Jepang sebagai simbol penjajahan secara konkret.

Makanan Nasional Jepang mie  Ramen Merupakan Lambang Penjajahan Jepang Atas China

Makanan Nasional Jepang mie  Ramen Merupakan Lambang Penjajahan Jepang Atas China 

Shina soba yg tengah menjadi makanan favorit orang Jepang pun tak terhindarkan dari lambang itu. dngn kata lain, melahap semangkuk shina soba di sama artikan oleh warga Jepang sebagai upaya mencaplok China itu sendiri, secara konotatif. Penggunaan istilah “shina soba” baru redup usai Jepang kalah dalam Perang Dunia II & kehilangan otoritasý atas Negeri Tirai Bambu.Perang Dunia II (1939-1945) pun berkontribusi terhadap redupý popularitas ramen. Masa-masa sulit itu memaksa penduduk Jepang menghindari aktivitas “bermewah-mewah” seperti makan besar, di samping suplai pangan yg juga mampet.

George Solt mengutip catatan seorang pakar kuliner Jepang yg lahir pada 1937: “Sejak 1944, bahkan di pedesaan, lapangan sekolah dijadikan la&g ubi. Kami memakan semua bagian ubi, dari daun sampai ujung akar. Untuk protein, kami memakan kepik, larva, & segala serangga yg kami temukan di akar-akar tanaman. Bahkan di desa, makanan begitu langka.” Usai perang dunia, Amerika Serikat (AS) memonopoli impor pangan Jepang. Praktik jual beli bahan pangan selain oleh tangan AS dianggap subversif.

Nasi semakin sulit didapatkan, se&gkan AS cuma menyuplai tepung terigu bermutu rendah untuk membuat roti.Imbasý, tepung terigu pun disuplai oleh para pemain pasar gelap. Penjaja-penjaja ramen yg beraktivitas secara sembunyi-sembunyi pun satu per satu dicokok & dipenjara.Masuk ke tahun 1950, kontrol ketat atas suplai pangan dihentikan. Di saat yg sama, prajurit-prajurit Jepang mulai kembali ke kampung halaman usai bertugas di China.Kebaýkan dari mereka tentu telah terbiasa mengonsumsi jenis mi china, khususý lamian.

Ramen kembali menguasai lidah orang-orang Jepang seiring laju ekonomi yg mendadak pesat dalam rentang 1955-1973. Dihelatý Olimpiade 1964 Tokyo membuat kota ini dibangun sedemikian rupa guna menyukseskan ajang olahraga dunia empat tahunan itu. Industrialisasi kembali merebak, menuntut pergerakan ekstra cepat dari para pegawaiý. Ramen, untuk kedua kaliý, menjadi santapan primadona kalangan pekerja. Fenomena ini disokong oleh Nissin yg menoreh sejarah dngn peluncuran ramen instan pada 1958, disusun ramen instan kemasan gelas pada 1971.

Share on Google Plus

About karen

0 komentar:

Posting Komentar